Minggu, 03 Mei 2015

Ilmu Budaya Dasar 2

1. Bentuk Kebudayaan Banjarnegara

A. Nyadran


     Nyadran merupakan sebuah prosesi adat berupa kenduri yang dilakukan di tempat yang dianggap keramat, masjid, langgar, rumah  pendukuk, ataupun tempat lainnya. Bagi masyarakat Banjarnegara ataupun masyarakat Jawa, kegiatan tahunan nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Nyadran biasanya dilaksanakan
menjelang bulan Ramadhan yaitu pada bulai Sya’ban atau Ruwah.
     Upacara nyadran dilakukan dalam rangka untuk membersihkan makam leluhur serta berziarah ke makam leluhur. Makna lain dari nyadran adalah untuk menghormati para leluhur.  Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua kegiatan keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada tata cara dan prosesi pelaksanaannya, di mana dalam nyadran waktu pelaksanaannya ditentukan oleh pihak yang mempunyai otoritas ataupun sesepuh dan juga pemuka agama setempat. Dan pelaksanaan upacara nyadran dilakukan secara kolektif.
     Tradisi nyadran yang sudah melekat erat pada masyarakat Banjarnegara dan pada kebanyakan masyarakat Jawa menjadikan masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari tradisi maupun kebudayaan itu.
     Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan tradisi nyadran masih kental dengan budaya Hindu-Budha yang masih kental dengan dinamisme, namun tradisi tersebut telah diakulturasikan dengan nilai-nilai islam oleh Wali Songo. Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas berziarah, membersihkan makam leluhur ataupun selamatan (kenduri). Nyadran juga menjadi ajang untuk bersilaturahmi antar keluarga dan juga warga masyarakat.
      Hal tersebut dilakukan sebagai ungkapan syukur dan juga rasa  persaudaraan terhadap sesama warga masyarakat. Setelah warga selesai melakukan bersih-bersih makam, warga masyarakat mengadakan selamatan atau kenduri di sepanjang jalan menuju pemakaman ataupun lahan kosong yang berada di dekat makam tak jarang pula kenduri digelar di Masjid kampung. Kenduri dimulai dengan ditabuhnya kentongan. Dengan bunyi kentongan maka para warga yang terdiri dari berbagai kalangan akan  bergegas berangkat untuk menghadiri acara selamatan atau kenduri.

B. Ritual Ujungan


        Beberapa daerah mempunyai cara terendiri untuk meminta hujan. Masyarakat Banjarnegara juga mimiliki ritual adat tersendiri untuk meminta hujan, ritual ada tersebut di namakan Ujungan. Ritual adat ujungan ini tepatnya berasal dari Desa Gumelem Wetan, Kecamtan Susukan, Kabupaten Banjarnegara.
         Ritual ini digelar pada saat kemarau panjang, karena pada saat kemarau panjang warga kesulitan untuk mencari air, untuk meminta hujan sesepuh dan warga Desa Gumelem Wetan mengadakan ritual Ujungan untuk meminta hujan kepada yang maha kuasa. Dengan digelarnya ritual ujungan diharapkan hujan akan segera turun membasahi Desa Gumelem Wetan sehinnga warga desa tidak lagi kesulitan untuk mencari air. Ritual ujungan telah berkembang turun-temurun di Gumelem Wetan sejak tahun 1830-an pada saat Gumelem masih bebrbentuk Kademangan Gumelem. Konon ritual ini bermula ketika kemarau panjang masyarakat mengalami kesulitan untuk mencari air untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk lahan pertanian. Sumber air yang ada sangat terbatas sementara yang membutuhkan air tersebut sangat banyak. Hal ini menimbulkan perselisihan antar desa-desa ataupun kelompok yang saling berebut untuk mendapatkan sumber mata air guna memenuhi kebutuhan mereka. Oleh sesepuh desa, untuk mengahiri perselisihan yang terjadi di antara warga diadakanlah sebuah upacara munjung atau yang lebih dikenal sebagai upacara ujungan. Istilah munjung atau ujungan berasal dari kata memukul. Tradisi ujungan tidak dilaksanakan setiap tahun melainkan hanya  pada saat kemarau panjang saja.
         Ritual ujungan tidak dapat sembarangan di gelar karena untuk menggelar ritual ujungan harus melalui musyawarah tetua adat terlebih dahulu. Ritual ini dilakukan oleh dua orang laki-laki dewasa, alat yang digunakan dalam ritual ini adalah sebilah rotan sebagai alat pemukul dan di  pimpin oleh seorang wasit yang disebut Wlandang. Rotan yang dipakai harus memiliki tingkat kelenturan yang cukup, dengan panjang 75 centi meter dan diameter sekitar 1,5 centi meter. Ketentuan rotan yang dipersyaratkan seperti ini bertujuan untuk mengurangi rasa pedih bila disabetkan ke tubuh. Seorang Wlandang harus memiliki keterampilan ilmu beladiri yang tinggi, hal ini dimaksudkan agar apabila suatu saat salah satu pemain Ujungan tidak puas dengan hasil keputusan wasit dan mencoba untuk melawan wasit, maka wasit wajib menerima tantangan itu.
           Para pemain ujungan yang akan melakukan adu sabet wajib mengenakan pelindung kepala yang berupa kain tebal berisikan sabut di dalamnya dengan hiasan ijuk. Tangan kiri para pemain Ujungan juga memakai pelindung dari bahan yang sama dan berfungsi sebagai tameng untuk menahan sabetan rotan lawan maupun untuk menangkis pukulan, sedangkan tangan kanan memegang alat  pemukul dari rotan sepanjang 75 centimeter. Dalam pertarungan adu sabet ini, para pemain hanya diperbolehkan memukul lawan bagian pinggang ke bawah serta tidak boleh memukul perut, dada, serta kepala.

C. Ruwat Rambut Gimbal

       Ruwat rambut gimbal merupakan tradisi pemotongan rambut anak gimbal, tradisi ini terdapat di Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.
       Anak berambut gimbal atau gembel yang berada di Dieng memiliki karakter dan perilakulaku berbeda dari anak pada seusianya. Rambut gembel  berpangkal kepada satu mitos yang menceritakan bahwa rambut gembel itu merupakan sebuah titipan dari penguasa alam gaib dan baru bisa dipotong ketika ada permintaan dari anak yang memiliki rambut gimbal tersebut. Konon jika memotong rambut gimbal sebelum si anak memintanya, maka rambut gimbal tersebut akan tumbuh kembali dan anak yang memiliki rambut gimbal akan jatuh sakit. Anak yang memiliki rambut gimbal biasa disebut sebagai anak “Sukerta” yaitu anak yang dicadangkan menjadi mangsa Batharakala. Untuk melepaskan atau mengangkat kembali anak dari kondisi sialnya atau membersihkan sukernya (gimbalnya) harus dilakukan upacara ruwatan. Ruwatan berasal dari kata ruwat yang artinya melepaskan dari nasib sialnya.
       Acara ruwatan tidak dapat dipaksakan oleh orang tuanya tetapi setelah sang anak mengajukan permintaan khusus yang disebut “bebana” atau permintaan. Sangat beram beban yang diminta oleh sang anak sukerta mulai dari binatang ternak hingga benda atau hal lainnya dan biasanya permintaan tersebut tidak lazim. Pemotongan rambut gimbal harus dengan ritual ruwatan yang melalui  beberapa tahap dan menggunakan berbagai persyaratan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Sebelum melakukan prosesi ruwatan orang tua sang anak menentukan hari. Waktu upacara itu sendiri dilakukan berdasarkan weton sedangkan pelaksanaan upacara dihitung berdasarkan neptu, dengan  persiapan khusus seperti tempat upacara dan benda-banda sesaji. Sesaji yang  biasanya disiapkan untuk upacara ini sendiri antara lain tumpeng, ingkung ayam, gunting, mangkuk dan air berisi bunga setaman, beras, 2 buah uang,  payung, tumpeng putih dengan dihiasi buah-buahan yang ditancapkan,  jajanan pasar serta 15 jenis minuman, seperti kopi manis dan pahit, teh manis dan pahit, selasih, susu, jawawut dan permintaan anak yang diruwat. Sebelum mulainya prosesi ruwatan segala macam sesaji di bawa ke kompleks candi Arjuna, selain itu kepala anak gimbal di ikat dengan kain putih hingga menutupi kepala mereka. Kemudian mereka di kias mengelilingi  perkampungan Dieng, melewati jalan raya Dieng, lalu kirab berahi di  pelataran Candi Arjuna. Para anak gimbal di kirab menggunakan dokar diiringi oleh para penari dan pemusik.
         Setelah kirab kemudian dilakukan pemandian di sumur Sendang Sedayu yang berlokasi di kompleks Candi Arjuna. Saat memasuki sumur Sendang Sedayu tersebut anak-anak gimbal dilindungi payung Robyong dan kain panjang di sekitar Sendang Sedayu. Setelah selesai anak-anak gimbal di kawal menuju tempat pencukuran pelataran Candi Arjuna. Sesajen dan  barang yang diminta oleh sang anak sudah tersedia di depan Candi Arjuna. Saat upacara pencukuran dipersembahkan sesajen berupa kepala ayam, tumpeng, jajan pasar, marmut, dan sesaji lainnya yang berasal dari hasil bumi Dataran Tinggi Dieng dengan diiringi kesenian tradisional. Sebelum pemotongan terlebih dahulu tetua adat membacakan doa, setelah itu kepala sang anak diasapi dengan kemenyan baru kemudian satu persatu rambut gimbal tersebut mulai dipotong. Pencukuran rambut gimbal bisa dilakukan oleh siapa saja tetapi biasanya dilakukan oleh orang tua sang anak. Rambut yang telah dipotong lalu dibungkus dengan kain putih
        Berikutnya upacara akan dilakukan dengan menyerahkan benda atau hal yang diminta oleh sang anak sebelumnya. Potongan rambut gimbal akan di Larung ke Telaga Warna yang mengalir ke Sungai Serayu dan berhilir ke laut selatan. Ruwatan rambut gimbal di Dataran Tinggi Dieng adalah ritual yang  pada intinya memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menghilangkan sukerto atau anak yang dicadangkan untuk menjadi mangsa  batharakala. Disamping itu juga berharap agar anak tersebut terbebas dari  pengaruh kesaktian roh Kyai Kolodete. Untuk itu anak tersebut harus di ruwat dengan menghilangkan rambut gimbalnya, simbol yang terdapat dalam rambut gimbal adalah rambut gimbal itu sendiri. Tidak ada daerah lain yang mempunyai simbol khas rambut gimbal.

D. Batik Gumelem

Batik gumelem merupakan salah satu produk unggulan yang dimiliki Kabupaten Banjarnegara yaitu kerajinan batik tulis. kabupaten yang terletak di bagian barat-selatan wilayah provinsi Jateng ini sesungguhnya banyak ditemui produk-produk yang cukup menjanjikan. Kerajinan ini bersentra di Desa Gumelem, Kecamatan Susukan, berjarak sekitar 30 km ke arah selatan dari pusat kota Banjarnegara. Di desa inilah berbagai pengrajin batik tulis tersebar dan terhimpun dalam suatu wadah/komunitas usaha kecil dan menengah (UKM). Produk kerajinan batik tulis Banjarnegara (Batik Gumelem) ternyata memiliki kekhasan apabila dibanding produk batik tulis lainnya yang pernah ditemui di pasaran regional. Seperti halnya di daerah Jawa, batik tulis sering ditemui berasal dari Yogyakarta, Solo, Pekalongan dan beberapa daerah sekitar selama ini sudah dikenal banyak orang. Batik tulis Gumelem ini mempunyai corak khas berupa udan liris dan rujak senthe yang diproduk secara turun-temurun oleh warga setempat. Di samping itu, batik Gumelem memiliki kekhasan lain yaitu didominasi warna sogan (cokelat), hitam, dan kuning, serta memiliki motif bunga-bunga, kawung, dan parang.

Dalam perkembangannya, batik tulis Gumelem sudah dimanfaatkan untuk memenuhi konsumsi atau kebutuhan lokal, seperti halnya di kalangan pemerintah daerah (Pemkab Banjarnegara) dianjurkan untuk memakai seragam batik pada hari tertentu. Ini merupakan langkah kebijakan sekaligus sebagai upaya memasyarakatkan penggunaan produk lokal dan sebagai upaya untuk melestarikannya.

Sementara itu kalangan luas kini juga mulai melirik, tertarik serta berminat untuk memilikinya. Terutama para kolektor batik tulis yang berasal dari luar daerah maupun para pecinta batik tulis untuk memakainya sebagai produk kain bermotif khas Gumelem, Banjarnegara.

Untuk mendapatkan batik tulis khas Gumelem ini cukup mudah. Anda bisa menemui di beberapa tempat di seputaran kota Banjarnegara. Bahkan jika mau berkunjung langsung ke Desa Gumelem, di sana akan terpampang tulisan Sentra Pengrajin Batik Tulis Gumelem. Anda bisa mendatangi langsung tempat penjualan yang sudah dikelola sedemikian rupa layaknya toko khas batik dan terpampang beragam kain batik tulis serta pakaian jadi beraneka ukuran. Sentra Batik Gumelem tepatnya berada di Dukuh Dagaran dan Karangpace (Gumelem Wetan) dan Dukuh Ketandan, Beji dan Kauman (Gumelem Kulon).

Harga jual kain batik Gumelem ini dapat dibilang relatif lebih murah dibanding batik yang berasal dari Yogyakarta dan Pekalongan. Satu lembar kain berukuran panjang 240 cm dan lebar 105 cm hanya seharga Rp 80.000, sedang yang berukuran panjang 275 cm dan lebar 105 cm seharga Rp 100.000 – Rp 300.000. Sementara itu bahan baju dijual Rp 75.000 dan taplak Rp 40.000.



Perlu pula diketahui bahwa batik tulis Gumelem yang memiliki warna dan corak serta motif khas ini sangat cocok digunakan dalam suasana resmi atau pakaian seragam di perkantoran dan berbagai kegiatan. Apalagi untuk kegiatan santai, pastinya lebih menambah kenyamanan. Harga baju batik tulis Gumelem siap pakai cukup terjangkau yakni berkisar antara Rp165.000 hingga Rp 190.000.-

2. Lagu yang berkaitan dengan Manusia & Cinta Kasih

Judul:Titip Rindu Buat Ayah
Penyanyi: Ebiet G. Ade
Pencipta: Ebiet G. Ade

Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras
Namun kau tetap tabah hm…
Meski nafasmu kadang tersengal
Memikul beban yang makin sarat
Kau tetap bertahan

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk hm…
Namun semangat tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia

Ayah, dalam hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk hm…
Namun semangat tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia

Lirik lagu ini bercerita tentang seorang Ayah yang dalam keterbatasan usia yang mulai menua dan fisik yang mulai renta tetapi Beliau tetap tabah akan keadaan. Ayah yang dalam masa mudanya semangat mencari uang menafkahi keluarganya kini tubuhnya kurus dan bungkuk. Tetepi semangat seorang Ayah tidak pernah pudar walaupun kaki-kakinya tidak sekuat saat muda dulu, jalannya gontai dan gemetar dan Ayah selalu setia untuk menjadi seorang imam keluarga yang terbaik.

Amanat yang bisa diambil dari lirik lagu ini yaitu sudah seharusnya, sudah sewajarnya seorang Ayah mendapat perhatian, cinta dan rasa hormat yang lebih dari anak-anaknya. Memang, kita harus lebih mencintai Ibu dibandingkan Ayah. Tapi, tetap saja Beliau tak bisa dipandang sebelah mata karna hidup matinya telah ia janjikan dalam hatinya untuk selalu membahagiakan dan menjadi imam terbaik dikeluarga, apalagi untuk istri dan anak-anaknya. Senyum seorang Ayah, peluhnya, keringatnya, kerja kerasnya merupakan semangat setiap anak-anaknya. Semangat yang selalu memacu kita sebagai anak-anaknya untuk menjadi yang terbaik. Tak hanya dimatanya semata tapi dimata Tuhan juga.

3. Cerita Pendek yang Berkaitan dengan Keindahan

SEGENGGAM PASIR PUTIH PULAU DERAWAN

“Gila loe, seneng kali tinggal di Indonesia, kalo gue pengennya tinggal di Paris dibawah menara Eifel atau ngga gue pengen tinggal di Singapura, belanja sepuasnya”. Ujar Dian.

Sedikit miris bila diingat ucapannya, seorang warga Indonesia yang mengaku kaya, tetapi, tidak menyadari kekayaan negeri sendiri. Aku memang bukan seorang 
yang hebat, yang bermimpi tinggal di tempat semacam itu. Tetapi aku lebih tau, bahwa Keindahan Indonesia melebihi terangnya lampu menara Eifel.
Aku, seorang mahasiswi yang kurang mampu, sering menelusuri jalanan dengan modal kaki kanan dan kaki kiri. Ulan, nama yang melekat di diriku. Seorang gadis 
remaja dari sebuah desa kecil di Balikpapan. Usia yang hampir kepala dua, berstatus mahasiswi di Universitas Balikpapan jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Pembiayaan kuliah ini bukan dari kedua orangtuaku, seorang kerabat dekat yang baik hati memberikan sedikit uangnya untuk membiayai pendidikanku.

Aku berhutang budi, belajar keras yang bisa kulakukan sedari aku sekolah. Berjalan kaki menuju kampusadalah rutinitasku setiap hari. Hamparan jalan keabu-abuan menjadi pijakan kaki, tak ada barisan bukit berembum pagi yang sering ku renungi di desa kecilku “indah nian ciptaan Tuhan, dan tak seorangpun menyadari keindahan itu”.

Mempunyai teman-teman yang mapan dan hidup dalam kemewahan adalah suatu keberuntungan bagiku, meski terkadang aku tersudutkan karena pakaian yang kumal dan berdebu. Tatapi, aku bersyukur dengan keadaan ku seperti ini, menikmati negri ku sendiri tanpa menghabiskan uang banyak, berjalan kaki memperhatikan kemewahan negeri, meski yang terlihathanya gedung tinggi. Aku tau, dibalik gedung tinggi, ada hamparan luas ukiran indah dari Tangan Tuhan.

Saat itu mereka berencana pergi ke luar negeri dan menawarkan ajakan itu kepadaku. tapi aku menolak, aku takut harus berutang budi lagi kepada orang lain. Tak ada niat sedikitpun untuk menginjakkan kaki ke luar negri, Indonesiaku sendiripun belum pernah kutempuh.

“Lan, ke singapura yuk, sabtu kita berangkat, minggu kita balek, ceritanya hunting refresing sambil belanja gitu dech” sahut Dian teman sekelas Sastra Indonesia.

Aku mencoba menjawab ajakan mereka.

“kalian pernah pergi ke Derawan ? sebuah tempat yang terhampar indah tanpa campur tangan manusia, menyejukkan setiap bola mata, jutaan bahkan milyaran butir pasir bersedia diseret air pantai, lautan yang mampu berubah warna dari hijau menjadi biru, lambaian daun kelapa yang menyapa, perpaduan Sinar Matahari yang hangat dengan pemandangan pantai pasir putih nan halus. Hmmmm”. Sambil menghayal aku bercerita kepada mereka.

“hahahahahha, loe buat puisi Lan ? kalo loe ngga mau ikut ya udah. Bye, kami ke kantin dulu”. Citra menyambung ceritaku yang penuh harap.

Aku hanya mampu menghayal, tempat indah di tanah kelahiranku sendiri belum mampu ku jejaki. Pulau Derawan, hmmmm, impianku tak perlu menjauh dari tanah yang aku pijak sekarang, mengabadikan sebuah album photo bersama rekan-rekanku di Derawan sudah cukup bagiku.

Aku tau Derawan ini dari buku-buku wisata di perpustakaan kampus, sebuah tempat wisata nasional yang terletak di Kepulauan Derawan, Kecamatan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Meskipun aku berada diKalimantan, tetapi bukan hal mudah untuk menjangkau pulau Derawan dengan keadaan ekonomi yang mencekik ini. Sekarang hanya mampu bercerita dengan lembaran kertas dipenuhi do’a, semoga suatu saat Keindahan Alam milik Tuhan ini mampu kutatap nyata.

Pulang dari kampus, berjalan di tengah kota besar Kalimantan Timur, tapi ini cukup menjadi indah bagi pandanganku. Aku berfikir, keadaanku lebih beruntung dari kakayaan yang dimiliki teman-temanku, aku tidak punya kekayaan materi, tapi aku memiliki keindahan Negri yang tidak mereka sadari.

Setiap hari, pukul 5 sore biasanya aku pulang. Aku manfaatkan waktu luang untuk ke perpustakaan, menyelesaikan tugas, mencari informasi, dan tidak lupa mencari artikel wisata Indosesia dan berharap salah satu akan ku kunjungi. Hal ini harus ku lakukan setiap hari, karena fasilitas kuliah tidak ku miliki di rumah.
Seorang mahasiswi miskin yang hanya bermodal sastra seadanya, berlatih menyusun kata diatas kertas putih bersih. Menulis setiap harapan dan menggantungkannya didinding kamar. “akan ku genggam pasir putih Derawan”. Catatan yang kutulis lengkap dengan gambar sebuah pulau indah.

Hari ini, tepat hari jumat pukul 9.40, terik matahari menyengat kulit menciptakan bayangan disepanjang jalan menuju kampus. Bukan untuk masuk kelas sastra, hari ini aku berniat ke perpustakaan kampus, mencari keberuntungan di selebaran kertas koran.

Disudut bawah koran halaman 10, tertulis di dalam sebuah kotak besar sayembara cerpen dengan hadiah yang diperebutkan adalah lima tiket pariwisata ke Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Lomba yang diadakan oleh salahsatu perusahaan majalah di Indonesia yang berdiri kokoh di tanah Metropolitan.

Kesempatan, ya, kesempatan bagiku untuk menunjukkan sastra yang hampir 3 semester kujalani. Setidaknya aku harus mencoba, meski resiko kalah akan ku temui.

Tulisan yang tertera di surat kabar tersebut dimulai tanggal 15 februari 2013 hingga 27 Februari dengan tema “Persahabatan Remaja”. Dimulai seminggu yang lalu, dan akhir pengiriman tinggal 6 hari lagi. Hanya bermodal tulisan dengan jumlah 4 sampai 6 lembar kertas berukuran A4. Tanpa print, hanya pengiriman melalui email.

“Tuhan, mengenggam pasir putih itu adalah harapan terbesarku saat ini, tuntunlah aku menjadi yang terbaik, aku berusaha, berusaha menciptakan sebuah karya sastra yang indah, agar aku pantas menyaksikan karyaMu yang menakjubkan”.

Baiklah, manfaatkan waktu untuk menciptakan sebuah karya, mencoba menulis didalam kesunyian, menjauh sementara dari suara-suara yang mencabut konsentrasi sastra.

Tengah malam menjadi pilihan waktu yang tepat untuk menghasilkan sebuah karya, meski mungkin ada karya yang lebih indah dari tangan seorang sastrawan muda di luar sana. tinta pena hitam dan kertas putih bergaris menjadi sahabat terbaik. Kata demi kata mulai terangkai, paragraf demi paragraf mulai tersusun.

“Karikatur Terindah Persahabatan kita” judul yang kuberikan untuk tulisan kecil ini, aku mencoba, dan terus mencoba, semoga Tuhan menyaksikan usaha yang ku lakukan, dan memberi sedikit jalan menuju pasir putih Derawan itu.

Tiga hari waktu yang kubutuhkan untuk membuat karya ini. Hari ini, senin, tanggal 25 Februari, aku mencoba meminjam komputer jinjing milik Dian, agar aku bisa mengetik ulang setiap alphabet yang ada dibuku tulis ini.

“Dian, boleh ulan minta waktunya sebentar”.

“why lan ?” tanya dian dengan kesombongannya.

“hmm.. boleh ulan pinjam laptop Dian sehari??”.

“untuk apa?”

“ulan ikut lomba cerpen, harus diketik dan dikirim via email, ulan pinjam laptop Dian untuk menyelesaikan cerpen ulan, sehari aja”. 

“hahahahaha, lomba cerpen? Yakin loe lan? Ngga bakalan menang loe. Hahaha. Nih bawa aja laptop gue, besok balikin ke gue lagi, ingat, Cuma sehari”.

Perlakuan yang sedikit tidak menyenangkan, tetapi, hanya dia yang bisa membantu usaha ini. Hanya sehari waktu untuk meminjam laptop, menyalin sembari memperbaiki kata demi kata cerpen ini. Lagi lagi, tengah malam waktu yang menjadi pilihan, demi bertemu panorama Pulau Derawan.

Laptop yang dipinjamkan Dian lengkap dengan modem berwarna hitam, alhamdulillah, aku paham yang berhubungan dengan laptop. Tepat pukul 3 dinihari, tulisan kecil ini selesai dimodifikasi. Sebelum beranjak tidur, aku harus mengirim cerpen malam ini juga, karena keterbatasan peminjaman laptop dan waktu pengiriman tinggal 2 hari lagi.

Dengan kemampuan seadanya, usaha semampunya. Kini, saatnya menanti pengumuman pemenang dua minggu lagi.

Tik tok tik tok tik tok. 

Detak jarum jam, detik demi detik menanti terbitnya kertas koran yang memuat pengumuman itu.  Pulau Derawan bayangan yang belum digenggam.

2 minggu berlalu, hari pengumuman itupun tiba.

Dag dig dug, rasa penasaran dan takut kalah menyatu menghasilkan detak jantung yang sangat cepat. Bismillah, lima tiket Pulau Derawan.

Lima pemenang yang akan diambil dari banyaknya peserta. Waaahhhh! Aku masuk dalam nominasi 2 besar. Tuhan mendengar segala doa hambanya yang bersungguh-sungguh. Alhamdulillah. Genggaman itu akan nyata.

Tertera disurat kabar itu, tiket akan dikirim ke alamat masing-masing dengan tanggal keberangkatan 14 Maret. Dua minggu lagi, Derawan akan nyata ku tatap.

Pulau Derawan I’am coming. Rasanya tak ada lagi yang lebih indah dari ini. Berangkat menuju Derawan, terbang dengan burung besi, berjumpa sahabat-sahabat sastra terhebat. 

Tepat hari kamis keberangkatan aku ke Pulau Derawan Kalimantan Timur. Dihantar teman kampus ke bandara, Dian, temanku yang senang dengan kekayaannya, ternyata mampu menyalamiku memberi ucapan selamat. Aku menyadari, harta tak selamanya menciptakan kebahagiaan.

“Kepada para penumpang, diharapkan memasang sabuk pengaman yang ada disamping kursi masing-masing”. Suara lembut dari seorang pramugari cantik di dalam pesawat. Ya, aku telah berada didalam tubuh burung besi, duduk ramah diatas sebuah kursi hitam pekat di lingkari sabuk pengaman ketat. Menikmati perjalanan selama 55 menit.

Awan putih menjadi bayangan sebuah pulau penuh lambaian tinggi daun kelapa menghijau, menyapa Pulau Derawan yang dikenal dengan surga selam.

Satu, dua, tiga, roda pesawat mulai di turunkan untuk pendaratan.

Waahh !! Derawan yang hanya mimpi menjadi nyata, kenangan terindah akan kucipta dengan kamera handphone berukuran 5MP. Seorang laki-laki, memegang sebuah kertas tertulis namaku “ULAN, BALIKPAPAN”. Ternyata dia salah satu pegawai kantor yang mengadakan lomba ini, ia menjemputku dan mengantarku ke tempat penginapan yang dekat dengan pulau derawan. Disana telah hadir pemenang 5 besar lomba cerpen dan beberapa  pegawai kantor.

Nisa, Aku, Gita, Putri dan Siska. Teman baru yang memiliki sastra luar biasa, saling sapa dan berkenalan.
Kekerabataan yang luar biasa meski baru bertemu. 

Setelah beristirahat, saatnya kami menikmati panorama terindah Pulau Derawan. Menelusuri jalan dengan kaki, melihat keindahan alam disekitar penginapan hingga kaki menyentuh pasir putih Derawan.
Genggam, ya, aku genggam pasir putih Derawan dan mengabadikannya dengan kamera handphone. Tuhan, inikah surga dunia yang kau ciptakan? tetapi, mengapa banyak rakyat Indonesia tidak menyadari karyaMu? Mereka lebih memilih pergi dari tanah air. 

Duduk di tepi pantai, menikmati suasana pantai yang sedang berbisik ingin mengajakku menyelam. Aku tahu, Pulau Derawan adalah surga selam pecinta Alam. Warna-warna ikan yang unik, air yang jernih, batu karang yang tersusun rapi membentuk satu kesatuan surga laut.

Pelau Derawan telah ku tatap nyata, dan keagungan Tuhan telah ku saksikan bersama rekan. Pengabadian telah menjadi kenangan. Kejadian indah terekam di dalam kertas tebal berwarna.

Dua hari telah berlalu, Pulau Derawan menjadi kenangan terindah. Rekan sastra menjadi sahabat terbaik. dan kini, saatnya kembali menjadi seorang mahasiswi, dan bercerita, bahwa Indonesia lebih indah dari apapun.

Aku ingin, suatu saat, aku akan mengililingi dunia hanya dengan sebuah karya. Panorama Pulau Derawan mengawali tekad ini.

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar